”Berikan aku sepuluh pemuda, akan aku guncang dunia,” demikian kata-kata terkenal dari Bung Karno, presiden pertama Republik Indonesia.
Di sebuah bangunan di Jalan Kalibata Timur IV/D Nomor 6, Jakarta Selatan, lebih dari 10 anak muda berkumpul. Mereka belum mengguncangkan dunia, tetapi, setidaknya Indonesia, atau paling tidak mereka ”mengguncangkan” hati jaksa agung, kepolisian, dan beberapa pejabat negara yang selama ini menjadi sasaran suara kritis mereka.
Siang itu mereka bergosip tentang orang-orang yang dag-dig-dug menunggu telepon dari Cikeas. ”Di Facebook, kawan kita itu minta didoakan agar terpilih,” kata Febri Diansyah, penggiat kantor itu, ICW (dengan kepanjangan yang betul: Indonesian Corruption Watch), mengomentari status Facebook mantan dosennya yang kini merapat di Istana. Mereka pun tertawa.
Seolah tak ada yang berubah dari kantor itu, kecuali tulisan di depan kantor itu, ”Maaf, Di Sini Bukan Kantor International Coroption Word (ICW)”.
Febri secara bercanda mengatakan, ”Itu petunjuk untuk pak pos. Biar kalau ada lagi surat untuk lembaga tersebut (Indonesia Coroption Word) enggak usah diantar ke dalam.”
Senin (12/10), dua penggiat ICW, Emerson Yuntho dan Illian Deta Arta Sari, mendapat surat panggilan dari kepolisian sebagai tersangka dalam kasus dugaan pencemaran nama baik Kejaksaan Agung.
Illian dan Emerson dijadikan tersangka pencemaran nama baik karena mempertanyakan pengelolaan uang pengganti senilai Rp 7 triliun oleh Kejaksaan Agung. Data itu bersumber dari hasil Laporan Pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan.
”Saat kami merilis adanya dugaan korupsi di suatu instansi, kami menggunakan data resmi atau data dari sumber lain yang sudah diverifikasi. Sebelum dikeluarkan pun, kami sudah membicarakan secara internal kelembagaan. Kami memiliki standar analisis,” kilah Illian. Tetapi, risiko tentu tetap ada.
Illian mengaku siap dengan segala risiko itu ketika memilih bekerja di ICW tiga tahun lalu.
Namun, lulusan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) tahun 2003 ini tak bisa memungkiri kegundahan hatinya, kegundahan hati seorang ibu ketika melihat anak-anaknya yang masih kecil.
Risiko pekerjaan
”Malam itu tidak seperti biasanya. Anak bungsu saya tidak bisa tidur nyenyak. Dan tiba-tiba yang sulung terbangun dan berteriak... ’Mama...’ Apakah ini tanda-tanda?” Illian mengungkapkan kegundahan hatinya.
”Untuk kasus ini, ya... apes-apesnya ditahan. Saya bilang ke suami, titip anak-anak ya. Kalau saya ditahan, itu bukan karena kejahatan, tapi memperjuangkan kebenaran,” ujar Illian, yang memiliki dua anak ini, masing-masing berusia dua tahun dan lima bulan.
”Kalaupun saya ditahan, saya berharap masih bisa mengirim ASI (air susu ibu),” katanya.
Di tengah gundah, Illian terlihat tegar dan bekerja seperti biasa. Demikian juga Emerson, masih tetap penuh canda. ”Masih aman, Bos,” kata Emerson.
”Bekerja itu tidak cuma masalah uang, karena uang itu bukan segalanya,” kata Illian yang sebelum bekerja di ICW menjadi wartawan di media cetak nasional.
Lalu, demi apa Illian? ”Demi Indonesia yang adil bebas korupsi....” dan sederet mimpi lainnya.
Mimpi itu yang menyangga anak-anak muda itu betah bergelut dengan angka, data, dan sesekali turun ke jalan untuk mengkritik polah petinggi negeri dan wakil rakyat. Hal itu pula yang menggerakkan Fahmi Badoh (31), lulusan Fakultas Teknik Mesin UGM tahun 2002.
Beberapa pekerjaan kantoran yang mapan ditampiknya demi memilih ICW sejak 2001. Pekerjaan yang tak banyak memberi uang, tetapi berisiko.
”Kalau dibandingkan teman- teman lain seangkatan di kampus, penghasilan saya di ICW tak ada apa-apanya,” kata Fahmi. Di ICW, sebanyak 22 penggiatnya, yang rata-rata lulusan UGM, ITB, UNS, Undip, dan UNJ ini dibayar Rp 1,5 juta-Rp 5,5 juta per bulan.
Tahun 2005, Fahmi dan beberapa kawan dipanggil polisi atas laporan pencemaran nama baik anggota DPR, AM Fatwa. Tahun berikutnya, Fahmi kembali dipanggil polisi, kali ini atas tuduhan pencemaran nama baik terhadap Akil Mochtar, anggota DPR lainnya. ”Kasusnya mandek begitu saja. Demikian juga dugaan korupsi yang kami wacanakan. Tak diproses,” katanya.
Kanker demokrasi
Fahmi, Illian, Emerson, hanya sebagian kecil dari penggiat antikorupsi dan pembela hak asasi manusia yang terancam Pasal 311, 316 Kitab Undang-undang Hukum Pidana tentang pencemaran nama baik. Pasal yang menjadi kanker demokrasi.
Menurut catatan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, dalam lima tahun terakhir jumlah aktivis yang dituntut hukum dengan pasal pencemaran nama baik mencapai 23 orang. ”Sebanyak 11 di antaranya berkasus tahun 2009.
Itu artinya, risiko yang akan dihadapi penggiat HAM dan antikorupsi kian tinggi. Illian sadar sepenuhnya hal itu. Meski tetap tebersit rasa khawatir, Illian tetap bersemangat. ”Tugas terberat sesungguhnya meyakinkan suami (yang PNS) dan keluarga besarnya,” kata Illian. (Sumber: ICW)
Di sebuah bangunan di Jalan Kalibata Timur IV/D Nomor 6, Jakarta Selatan, lebih dari 10 anak muda berkumpul. Mereka belum mengguncangkan dunia, tetapi, setidaknya Indonesia, atau paling tidak mereka ”mengguncangkan” hati jaksa agung, kepolisian, dan beberapa pejabat negara yang selama ini menjadi sasaran suara kritis mereka.
Siang itu mereka bergosip tentang orang-orang yang dag-dig-dug menunggu telepon dari Cikeas. ”Di Facebook, kawan kita itu minta didoakan agar terpilih,” kata Febri Diansyah, penggiat kantor itu, ICW (dengan kepanjangan yang betul: Indonesian Corruption Watch), mengomentari status Facebook mantan dosennya yang kini merapat di Istana. Mereka pun tertawa.
Seolah tak ada yang berubah dari kantor itu, kecuali tulisan di depan kantor itu, ”Maaf, Di Sini Bukan Kantor International Coroption Word (ICW)”.
Febri secara bercanda mengatakan, ”Itu petunjuk untuk pak pos. Biar kalau ada lagi surat untuk lembaga tersebut (Indonesia Coroption Word) enggak usah diantar ke dalam.”
Senin (12/10), dua penggiat ICW, Emerson Yuntho dan Illian Deta Arta Sari, mendapat surat panggilan dari kepolisian sebagai tersangka dalam kasus dugaan pencemaran nama baik Kejaksaan Agung.
Illian dan Emerson dijadikan tersangka pencemaran nama baik karena mempertanyakan pengelolaan uang pengganti senilai Rp 7 triliun oleh Kejaksaan Agung. Data itu bersumber dari hasil Laporan Pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan.
”Saat kami merilis adanya dugaan korupsi di suatu instansi, kami menggunakan data resmi atau data dari sumber lain yang sudah diverifikasi. Sebelum dikeluarkan pun, kami sudah membicarakan secara internal kelembagaan. Kami memiliki standar analisis,” kilah Illian. Tetapi, risiko tentu tetap ada.
Illian mengaku siap dengan segala risiko itu ketika memilih bekerja di ICW tiga tahun lalu.
Namun, lulusan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) tahun 2003 ini tak bisa memungkiri kegundahan hatinya, kegundahan hati seorang ibu ketika melihat anak-anaknya yang masih kecil.
Risiko pekerjaan
”Malam itu tidak seperti biasanya. Anak bungsu saya tidak bisa tidur nyenyak. Dan tiba-tiba yang sulung terbangun dan berteriak... ’Mama...’ Apakah ini tanda-tanda?” Illian mengungkapkan kegundahan hatinya.
”Untuk kasus ini, ya... apes-apesnya ditahan. Saya bilang ke suami, titip anak-anak ya. Kalau saya ditahan, itu bukan karena kejahatan, tapi memperjuangkan kebenaran,” ujar Illian, yang memiliki dua anak ini, masing-masing berusia dua tahun dan lima bulan.
”Kalaupun saya ditahan, saya berharap masih bisa mengirim ASI (air susu ibu),” katanya.
Di tengah gundah, Illian terlihat tegar dan bekerja seperti biasa. Demikian juga Emerson, masih tetap penuh canda. ”Masih aman, Bos,” kata Emerson.
”Bekerja itu tidak cuma masalah uang, karena uang itu bukan segalanya,” kata Illian yang sebelum bekerja di ICW menjadi wartawan di media cetak nasional.
Lalu, demi apa Illian? ”Demi Indonesia yang adil bebas korupsi....” dan sederet mimpi lainnya.
Mimpi itu yang menyangga anak-anak muda itu betah bergelut dengan angka, data, dan sesekali turun ke jalan untuk mengkritik polah petinggi negeri dan wakil rakyat. Hal itu pula yang menggerakkan Fahmi Badoh (31), lulusan Fakultas Teknik Mesin UGM tahun 2002.
Beberapa pekerjaan kantoran yang mapan ditampiknya demi memilih ICW sejak 2001. Pekerjaan yang tak banyak memberi uang, tetapi berisiko.
”Kalau dibandingkan teman- teman lain seangkatan di kampus, penghasilan saya di ICW tak ada apa-apanya,” kata Fahmi. Di ICW, sebanyak 22 penggiatnya, yang rata-rata lulusan UGM, ITB, UNS, Undip, dan UNJ ini dibayar Rp 1,5 juta-Rp 5,5 juta per bulan.
Tahun 2005, Fahmi dan beberapa kawan dipanggil polisi atas laporan pencemaran nama baik anggota DPR, AM Fatwa. Tahun berikutnya, Fahmi kembali dipanggil polisi, kali ini atas tuduhan pencemaran nama baik terhadap Akil Mochtar, anggota DPR lainnya. ”Kasusnya mandek begitu saja. Demikian juga dugaan korupsi yang kami wacanakan. Tak diproses,” katanya.
Kanker demokrasi
Fahmi, Illian, Emerson, hanya sebagian kecil dari penggiat antikorupsi dan pembela hak asasi manusia yang terancam Pasal 311, 316 Kitab Undang-undang Hukum Pidana tentang pencemaran nama baik. Pasal yang menjadi kanker demokrasi.
Menurut catatan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, dalam lima tahun terakhir jumlah aktivis yang dituntut hukum dengan pasal pencemaran nama baik mencapai 23 orang. ”Sebanyak 11 di antaranya berkasus tahun 2009.
Itu artinya, risiko yang akan dihadapi penggiat HAM dan antikorupsi kian tinggi. Illian sadar sepenuhnya hal itu. Meski tetap tebersit rasa khawatir, Illian tetap bersemangat. ”Tugas terberat sesungguhnya meyakinkan suami (yang PNS) dan keluarga besarnya,” kata Illian. (Sumber: ICW)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar